Thursday, March 19, 2020

Zaanse Schans, Kampung Penjebakan Turis


Zaanse Schans merupakan sebuah wisata kecil tempat penjebakan para turis hehehe. Tempat ini sangat terkenal karena koleksi kincir anginnya dan juga bangunan-bangunan Belanda di abad 19. Sebelumnya kami sudah tau kalau Zaanse Schans ini hanyalah tempat kecil yang digunakan hanya sebagai wisata para turis, tempat yang dibangun beberapa kincir angin dan juga beberapa toko keju, mungkin jika kita bandingkan dengan Indonesia, tak lebih besar dari Museum taman angkut yang ada di Malang. Namun tetap saja, rasanya sayang sekali jika tak mengunjungi tempat ini, tempat yang selalu menjadi spot foto menarik di instagram :-D 

Kincir angin adalah icon dari Belanda, meskipun kincir angin tidak datang dari Belanda. Lalu mengapa Belanda dijuluki sebagai negara kincir angin ? Jawabannya cukup sederhana, karena terdapat banyak sekali kincir angin di Belanda, meskipun jumlahnya saat ini tak sebanyak dulu. Permukaan daratan di Belanda itu rendah dan juga Belanda merupakan negara yang cukup kecil, sehingga Belanda membutuhkan kincir angin untuk mengeringkan sebagian permukaan laut. 



Setibanya kami di Amsterdam, kami terkejut dengan logo bendera pelangi yang tertempel di salah satu sudut stasiun Amsterdam. Ya, logo pelangi tersebut adalah sebuah simbol dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Jadi, dengan adanya logo yang terpampang dengan bebas ini menandakan bahwa negara Belanda mengakui keberadaan mereka.



Waktu terus berjalan, kami bergegas mencari mesin pembelian tiket ke Zaanse Schans di area Zandaam. Kami tak menyangka jika Zaanse Schans terletak cukup jauh di luar area Amsterdam dan sekitarnya, sehingga kami harus merogoh tiket ekstra untuk bisa pergi kesana, sekitar 16 euro. Tapi mau bagaimana lagi, tak afdhol rasanya jika ke Belanda tapi tidak berfoto dengan kincir angin, hahaha, karena di Amsterdam hanya dipenuhi dengan bangunan-bangunan tua, kanal, perahu, sepeda, dan turis :-P

Setibanya di Zandaam, kami semakin terkejut. Benar-benar berbeda dari kota Amsterdam. Rasanya kami seperti terdampar di sebuah pedesaan dan kami juga tak tau harus kemana. Kami melihat ke arah sekitar dan kami benar-benar tak melihat satupun kincir angin, rasanya kami seperti tersesat. Lalu kami bertanya kepada salah seorang pendudulk lokal dan diapun mengarahkan kami untuk berjalan mengikuti arah jalan, lalu bertanya lagi pada orang diujung jalan. Ya, ternyata Zaanse Schans terletak cukup jauh dari stasiun :-( Ceritanya kami keliling desa dulu lah ya biar bisa kesana, of course dengan tas berat kami hahahah

Dan akhirnya setelah berjalan jauh, kami mampu melihatnya dari atas jembatan, finally




Setibanya disini, kami langsung disambut oleh angin yang sangat kencang dan juga udara yang cukup dingin meskipun itu di musim panas. Sehingga kami juga tidak sempat foto-foto banyak disini, hanya asal jepret saja. Selain itu juga aku sedang menghemat baterai saat itu. Jadi, sebelumnya kami melakukan perjalanan di Paris, lalu saat malam hari kami melanjutkan perjalanan ke Belanda dengan menggunkana Bus (demi menghemat biaya penginapan dong tentunya hehehe). Biasanya aku mengisi ulang daya baterai kameraku di bus, tapi saat itu, aliran listrik di bus tidak berjalan dengan baik :(, it means, aku gak bisa ngecas baterai kamera dan hp. huhuhu sad banget. 





Bangunan-bangunan yang ada disini dibangun dengan sangat uniq, sehingga benar-benar menggambarkan Belanda di abad ke 19. Konon katanya, bangunan-bangunan disini tidak dibangun dari 0, melainkan dipindahkan dari tempat lain, lalu direnovasi, sehingga banguna-bangunan disini memang bangunan lama.



  Di sepanjang sungai Zaan, berdiri kokoh 6 kincir angin yang masih beroperasi. Ada yang beroperasi untuk membantu menggiling minyak, rempah-rempah dan cat.


The Wooden Shoe Workshop

Di The Wooden Shoe Workshop, kita bisa melihat proses pembuatan klompen dengan mesin modern, mengenal sejarahnya, dan tentu saja melihat berbagai macam klompen. Klompen merupakan sepatu kayu khas belanda yang pada jaman dahulu kala sering digunakan para petani dan pekebun saat bekerja. Aku kira klompen dari Indonesia, tapi ternyata klompen dibawa dan dikenalkan oleh para penjajah disaat Belanda menjajah Indonesia. 




Bahkan, di abad ke 17-18, klompen digunakan sebagai alat untuk melamar seseorang. Jika seorang pemuda ingin melamar seorang gadis, maka ia akan datang dengan membawa berbagai macam motif klompen. Klompen-klompen tersebut akan diberikak kepada gadis yang akan dipinangnya. 


Harga klompen disini sangat bervariasi, mulai dari 15 euro hingga 25 euro, yang kalau kita rupiahkan sekitar 255rbu - 455 rbu. Ukuran dan motifnya juga bervariasi, mulai dari ukuran kecil hingga besar, klompen polos atau bermotif tersedia semuanya disini. Jika kita tidak ingin membeli klompennya, kita juga bisa mengunjungi museum dengan gratis. Museum ini dibuka mulai pukul 09.00 hingga mulai 18.00 (sepertinya juga tergantung dengan musim, kalau winter sepertinya akan ditutup lebih awal.





 

 

Saran ya, jika kalian ingin membeli souvenir, lebih baik tidak disini, karena barang yang sama juga bisa kamu temukan di Amsterdam dengan harga yang tentu saja jauh lebih murah. Tapi kalau hanya lihat- lihat, boleh lah ya masuk ke dalam museum, asal tidak tergiur dan langsung memborong. 


 

Di pintu keluar museum, ada ucapan Good Bye dalam berbagai bahasa, salah satunya juga dalam bahasa Indonesia "Selamat Tinggal". Mungkin karena Indonesia sangat berperan penting dalam kemajuan negara Belanda. Yaiyalah, dijajah 3,5 Abad donggggg




Di dinding luar pabrik komplen, ada spot foto menarik lho. Untuk bisa mengambil foto di spot ini, aku harus mengantri cukup lama karena saat itu juga terdapat rombongan para turis bermata sipit yang juga ingin mengambil foto di tempat ini, percayalah, mereka berebutan dan gak mau antri, sukanya nyerobot (curhat). Sekalinya dapet giliran foto, baru juga jepret 1 foto udah disuruh pergi, tapi dianya sendiri ambil foto 10 kali lebih. Oh God







Selain itu juga ada klompen raksasa yang memang diperuntukkan untuk para turis yang ingin selfie disini. Jadi jangan lupa unutk mengabadikan momen di icon Belanda yang satu ini.  






Museum De Catherine Hoave


Tak lengkap rasanya jika ke Belanda tanpa mencicipi lezatnya keju. Di Zaanse Schans terdapat sebuah pabrik, museum, dan toko keju yang bernama De Catherine Hoeve. Disini kita bisa melihat proses pembuatan keju dan tentu saja mencicipi berbagai macam keju dengan gratis (mencicipi lho ya, bukan makan sepuasnya haha). Antusias turis untuk bisa masuk kesini sangat tinggi, hingga tak heran jika banyak turis yang rela antri untuk bisa masuk kesini


Di Indonesia, aku  hanya tau satu macam jenis keju, tapi disini, ada puluhan macam keju, hingga aku tidak bisa menghafalkan namanya satu-satu. Yang aku ingat, ada keju biasa, keju asap, keju dengan jamur, keju dengan berbagai macam herbal, keju dengan zaitun, bahkan ada juga keju yang berwarna hijau. Tentu saja keju-keju ini dijual guys, mangkannya keju-keju ini bisa kita cicipi dengan gratis. Harganya juga bervariasi, tergantung jenis dan berat keju. 




Sebetulnya masih ada beberapa museum disini yang belum kami kunjungi, seperti museum Distillery Museum De Twekoppige Phoenix, yaitu museum yang memamerkan berbagai macam liquor buatan Belanda. Disana kita juga bisa mencicipi berbagai macam liquor, namun karena kamu sudah lelah dan kami juga tidak berniat mencicipi liquor, akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya, Volendam



  
 





  






Zaanse Schans, Kampung Penjebakan Turis

Zaanse Schans merupakan s ebuah wisata kecil tempat penjebakan para turis hehehe. Tempat ini sangat terkenal karena koleksi kincir ...